PRJ atau Pekan Raya Jakarta adalah sebuah momen tahunan yang bisa dinikmati, terutama bagi kami yang merantau ini dan menemukan ini sebagai hiburan setelah penat belajar. Dan aku punya cerita yang tak kuceritakan pada mereka yang bersamaku saat itu.
“Put, temani Kak Ida pipis, Put.”
“Putri juga pengen pipis nih.”
“Ya udah bareng. Kita bilang dulu ama Mba Ririn dan Mba Nuy.”
Setelah menyampaikan maksudnya, kami sepakat untuk pergi bareng menuju toilet yang berada di dalam gedung. Antriannya, subhanallah, ramai banget. Dari toilet kami menuju Ramayana yang sedang obral besar-besaran, sampai 70% loh. Kak Ida yang hobi belanja sangat bersemangat untuk segera berburu barang baru. Nah, di sini cerita seru itu berkisah.
“Put, ke sebelah sana yuk.” Ajak Mba Nuy menunjuk lokasi tumpukkan sepatu yang berbeda dari tempat Kak Ida berburu.
“Yuk. Pengen beli juga satu.” Ujarku menyetujui ajakan itu.
Aku tak lagi memperhatikan dimana Kak Ida dan Mba Ririn berada karena juga asyik dengan pilihan-pilihan sepatu di hadapanku. Aku sesekali melirik dan bertanya pada Mba Nuy yang berdiri tak jauh dariku , yang juga asyik dengan pilihan-pilihannya.
Tiba-tiba Mba Nuy memegang sebuah sepatu kerja warna coklat yang sejak awal berdiri di tumpukan sepatu itu aku lirik. “Bagus, ya?” Tanyanya. Aku senyum menandakan setuju dengan penilaiannya. Belum sempat kucegah, Mba Nuy memasangkan sepatu kanan itu ke kakinya. Deg! Jantungku memacu kencang. Aku juga tak mampu beralasan untuk melarangnya, tapi ini sebuah kesalahan karena dia memakainya. Seperti yang sudah kuduga.
“Cantik gak, Put?”, kali ini aku tersenyum sedikit kecut karena ‘dia’ mendekat. “Senyum melulu. Jawab donk.”
“Maaf, Mba. Mba suka yang ini?” Tanya ‘dia’. Tak ada jawaban dari Mba Nuy.
Mba Nuy terang saja tidak menjawab pertanyaan itu karena Mba Nuy tidak dapat melihatnya. Aku pura-pura tidak mendengarkan dan dengan sedikit memaksa, “Mba Nuy, ke sana bentar deh.”
“Koq akunya ditarik-tarik. Bentar tak lepas dulu sepatunya.” Dengan logat Jawanya yang kental.
Begitu sepatu itu dia lepas, kusambar lagi tangannya, “Aku lihat sepatu yang di sana lebih bagus-bagus.”
“Wah, iya yo. Napa ndak dari tadi keliatan.”
Si ‘dia’ memanggil-manggil,” Mba, sepatu ini kan bagus. Diskonnya 70% lagi.” Tetap hanya aku yang bisa mendengarkan dengan gusar dan syukurnya ‘dia’ tidak mengikuti. Aku terus menjaga agar Mba Nuy atau Mba Ririn atau Kak Ida tidak mengarah ke tumpukkan itu apalagi menyentuh sepatu itu.