Minggu, 24 Juli 2011

Kenangan PRJ 2009

PRJ atau Pekan Raya Jakarta adalah sebuah momen tahunan yang bisa dinikmati, terutama bagi kami yang merantau ini dan menemukan ini sebagai hiburan setelah penat belajar. Dan aku punya cerita yang tak kuceritakan pada mereka yang bersamaku saat itu.

“Put, temani Kak Ida pipis, Put.”

“Putri juga pengen pipis nih.”

“Ya udah bareng. Kita bilang dulu ama Mba Ririn dan Mba Nuy.”

Setelah menyampaikan maksudnya, kami sepakat untuk pergi bareng menuju toilet yang berada di dalam gedung. Antriannya, subhanallah, ramai banget. Dari toilet kami menuju Ramayana yang sedang obral besar-besaran, sampai 70% loh. Kak Ida yang hobi belanja sangat bersemangat untuk segera berburu barang baru. Nah, di sini cerita seru itu berkisah.

“Put, ke sebelah sana yuk.” Ajak Mba Nuy menunjuk lokasi tumpukkan sepatu yang berbeda dari tempat Kak Ida berburu.

“Yuk. Pengen beli juga satu.” Ujarku menyetujui ajakan itu.

Aku tak lagi memperhatikan dimana Kak Ida dan Mba Ririn berada karena juga asyik dengan pilihan-pilihan sepatu di hadapanku. Aku sesekali melirik dan bertanya pada Mba Nuy yang berdiri tak jauh dariku , yang juga asyik dengan pilihan-pilihannya.

Tiba-tiba Mba Nuy memegang sebuah sepatu kerja warna coklat yang sejak awal berdiri di tumpukan sepatu itu aku lirik. “Bagus, ya?” Tanyanya. Aku senyum menandakan setuju dengan penilaiannya. Belum sempat kucegah, Mba Nuy memasangkan sepatu kanan itu ke kakinya. Deg! Jantungku memacu kencang. Aku juga tak mampu beralasan untuk melarangnya, tapi ini sebuah kesalahan karena dia memakainya. Seperti yang sudah kuduga.

“Cantik gak, Put?”, kali ini aku tersenyum sedikit kecut karena ‘dia’ mendekat. “Senyum melulu. Jawab donk.”

“Maaf, Mba. Mba suka yang ini?” Tanya ‘dia’. Tak ada jawaban dari Mba Nuy.

Mba Nuy terang saja tidak menjawab pertanyaan itu karena Mba Nuy tidak dapat melihatnya. Aku pura-pura tidak mendengarkan dan dengan sedikit memaksa, “Mba Nuy, ke sana bentar deh.”

“Koq akunya ditarik-tarik. Bentar tak lepas dulu sepatunya.” Dengan logat Jawanya yang kental.

Begitu sepatu itu dia lepas, kusambar lagi tangannya, “Aku lihat sepatu yang di sana lebih bagus-bagus.”

“Wah, iya yo. Napa ndak dari tadi keliatan.”

Si ‘dia’ memanggil-manggil,” Mba, sepatu ini kan bagus. Diskonnya 70% lagi.” Tetap hanya aku yang bisa mendengarkan dengan gusar dan syukurnya ‘dia’ tidak mengikuti. Aku terus menjaga agar Mba Nuy atau Mba Ririn atau Kak Ida tidak mengarah ke tumpukkan itu apalagi menyentuh sepatu itu.


Memori Lantai 3 ( Part II )

Hampir semua gedung punya kisah, entah itu sejarah lucu atau menyedihkan bahkan tidak sedikit menyimpan kisah horor yang beberapa di antaranya diceritakan dari mulut-ke-mulut. Aku berbagi ini sebagai tulisan karena kisah ini berlanjut meski mungkin aku yang mampu menyampaikannya.

Aku memilih ke perpustakaan kampus hari Senin, Rabu, atau Jumat. Hari-hari itu perpustakaan melayani anggotanya hingga pukul 7 malam. Dan itu artinya aku bisa menikmati membaca atau menulis dengan posisi bersender di bantal yang disediakan sebagai tempat duduk di antara rak. Kadang kalo tubuh terasa pegal, aku berbaring cuek.

Letak perpustakaan di lantai 3. Apa kalian sudah membaca tulisanku tentang lantai 3? Hanya ada dua toilet di setiap lantai yang bisa dipakai bersama. Berbeda dengan lantai dasar dan lantai 2 yang memiliki fasilitas toilet di setiap ruang perkuliahannya. Dan itu artinya kalau magrib datang, antrian di toilet akan sangat panjang.

Hari itu aku ikut antrian bersama mereka yang baru saja istirahat untuk kelas ekstensinya. Dari depan pintu perpustakaan, tak ada antrian. Bergegas aku menuju toilet, namun apa daya, mereka bertiga lebih dulu sampai dan membentuk barisan. Kali ini aku mendapat posisi pengantri keempat, pikirku.

“Saya kira toiletnya kosong.” Ucapku pada mereka.

“Waktu saya buru kemari, ada yang duluan masuk, Mbak.” Jawab pengantri pertama.

“Oh.” Jawabku pendek.

Kami menikmati antrian itu, walau sungguh aku tak tahan ingin pipis. Ternyata pengantri pertama bukanlah teman sekelas pengantri dua dan tiga. Itu terdengar dari pertanyaan pengantri tiga tentang perkuliahan yang sedang diikuti oleh pengantri pertama.

Tidak terasa sudah lebih 5 menit mengantri dan aku semakin tidak sabar.

“Bu, kenapa dari tadi gak ada terdengar suara air ya?” Tanyaku.

“Iya.” Pengantri ketiga menyetuiui ucapanku.

“Coba ketuk pintunya, Bu.” Pinta pengantri kedua.

Pengantri pertama mencoba mengetuk dan memanggil, “Maaf, ada orang gak?”

Hening. Tak ada jawaban. Tak ada suara air. Tak terjadi apapun. Akhirnya pengantri pertama mencoba mendorong sedikit pintu toilet. Terbuka.

“Gak ada orang ternyata.” Ucapnya berlalu masuk.

“Memangnya Ibu-ibu tadi liat ada yang masuk?” Tanyaku.

“Aku gak tau.” Jawab pengantri ketiga.

“Ada. Aku liat tadi. Perempuan, masuknya buru-buru.” Jawab pengantri kedua.

Logikaku memanggil. “Maaf, Bu. Bukan ingin nakuti, tapi lebih baik kalo ngantri berdirinya di sini aja.” Jelasku sambil menunjukkan daerah teritorial yang aman menurutku.

Mana ada sih yang jadi berani setelah diberitahukan begitu. Terang aja mereka berdua jadi memutuskan untuk masuk ke toilet berdua. Akhirnya tinggallah diriku. Aku masuk ke toilet sendirian dengan gelapnya toilet karena lampunya putus. Syukurnya lampu dari ruangan kelas di sisi samping toilet cukup terang.

وَالْخَبَائِثِ الْخُبُثِ مِنَ بِكَ أَعُوْذُ إِنِّيْ اَللَّهُمَّ

“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan laki-laki dan perempuan.”


Memori Lantai 3 ( Part I )

Hampir semua gedung punya kisah, entah itu sejarah lucu atau menyedihkan bahkan tidak sedikit menyimpan kisah horor yang beberapa di antaranya diceritakan dari mulut-ke-mulut. Aku berbagi ini sebagai tulisan karena kisah ini berlanjut meski mungkin aku yang mampu menyampaikannya.

Semester pendek yang panjang. Jadwal masuknya seminggu 3 hari, mulai pukul 8 pagi hingga berakhir di pukul 3 sore. Sehari hanya ada satu mata kuliah. Sedikit melelahkan dan tugas yang diberikan pun sangat menguras waktu, pikiran, dan tenaga.

Seperti beberapa hari yang sudah, hanya punya waktu singkat di siang hari untuk menikmati makan siang dan sholat Dhuhur. Masalah makan teratasi karena kesepakatan bersama, Bu Asih yang juga sektetaris kelas memiliki usaha masakan mampu memenuhi kebutuhan kami untuk menyediakan makan siang yang diantar langsung ke ruangan tempat kami melaksanakan perkuliahan. Seru juga karena sangatlah menyita waktu dan tenaga untuk naik-turun tangga untuk sekedar mengambil kiriman nasi dari lantai 3. Masalah tempat sholat kami atasi dengan membawa beberapa lembar koran untuk dijadilan alas agar sajadah dapat dibentang di sudut ruangan kelas. Nah, cuma masalah wudhu tetap harus mengantri.

Siang itu aku mengantri bertiga. Bu Asih sebagai pengantri kedua dan aku pengantri ketiga menikmati antrian dengan gaya masing-masing.Entah kebelet pipis, entah pengen bersender, Bu Asih berdiri tepat di lorong toilet. Sementara aku seperti biasa berdiri di pinggir tembok pembatas sambil menikmati pemandangan taman di tengah gedung dan melihat orang-orang yang berlalu lalang di lantai bawah. Aku tidak begitu memerhatikan Bu Asih, beliau pun tidak mengajakku ngobrol, jadi masing-masing aja.

Begitu pintu toilet terbuka, Bu Asih sedikit mundur memberikan jalan kepada Mba Ika. Lorong itu memang sedikit sempit bila harus berpas-pasan di sana. Saat itulah aku menyadari ada yang aneh pada Bu Asih.

Beberapa minggu kemudian.

“Teman-teman. Tolong perhatiannya.” Seperti biasa Pak Muhdir sebagai ketua kelas meminta perhatian kami yang asyik ngobrol. “Begini ya, saya dapat SMS dari Bu Asih. Beliau sakit jadi gak bisa masuk.”

“Sakit apa, Pak?” Ada yang nyeletuk, aku tidak ingat siapa. Seorang teman dari belakang tempat aku berada.

“Kabarnya sakit kepala dan panas. Saya juga tidak tau. Nanti saya tanya lagi.”

Beberapa hari berlalu.

Bu Asih belum sembuh dan setelah janjian aku, Pak Muhdir, dan Mba Ika (kalau gak salah, maaf aku lupa) sepakat ke rumah Bu Asih. Di sana Bu Asih menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan sakitnya. Ternyata itu bukan sakit yang membutuhkan bantuan dokter, tapi seorang ‘dokter’ yang lain.

Aku pikir itu adalah saatnya aku mengerti tentang apa yang pernah aku lihat di depat toilet tempo hari.

“Maaf, Bu Asih. Putri mau tanya, tapi Bu Asih gak perlu takut ya.” Bu Asih mengangguk menyetujui permintaanku. “Apa Bu Asih mempunyai ‘itu’ sebagai penjaga?” Lanjutku.

“Apa?” Bu Asih tidak mengerti maksud dari pertanyaanku.

“’Itu’?” Aku memberikan intonasi yang berbeda saat mengucapkannya kali ini.

“Maksud Putri, jin?” Tanya Pak Muhdir. Dan aku hanya mengangguk keras sebagai penegas bahwa yang diucapkan Pak Muhdirlah yang aku maksud.

“Itu dia masalahnya, Put. Kata guru ngajiku ada yang menggangguku. Aku gak pernah pake gitu-gituan.”

“Wah, berarti yang Putri lihat itu bukan punya Bu Asih donk.”

“Putri pernah lihat? Dimana? Kapan?” Tanya Bu Asih antusias.

Pak Muhdir dan Mba Ika semakin menyimak pembicaraan yang membuat sedikit suasana siang itu menjadi tegang.

“Ingat gak waktu semester pendek dan kita berdua lagi ngantri di toilet lantai 3?”

“Yang mana? Kan ada berapa kali tuh?” Tanya Bu Asih ingin memastikan.

“Ah, hanya sekali itu koq, kita bareng.”

“Gak ingat aku, Put. Udah ceritain aja apa yang kamu lihat.”

“Waktu Bu Asih akan masuk toilet aku lihat ada perempuan di punggung Bu Asih, sepertinya Bu Asih menggendong ‘dia’ gitu. Biasanya kalau posisinya begitu, artinya ‘dia’ itu peliharaan. Setauku sih, Bu.”

“Kenapa Putri gak bilang atau tanya gitu ke Bu Asih?” Sambut Mba Ika.

“Ngapain tanya. Kode etiknya kan kalau terlihat, ya sudahlah.” Jelasku.

“Ih, serem. Putri bisa lihat yang begituan ya.” Pak Muhdir mencoba mencairkan suasana yang malah membuat Bu Asih semakin membeku.

“Sekarang ‘dia’ masih ada gak, Put?” Tanya Bu Asih dengan mimik khawatir.

“Enggak.” Jawabku pendek.

“Aku harus gimana, Put?”

“Gak ngerti deh, Bu. Tanya aja ama guru ngajinya Bu Asih. Aku gak pernah berurusan dengan hal-hal begitu. Kalo ngeliat ya ngeliat aja.”

Untuk Bu Asih,

Putri tulis ini sebagai bahan berbagi agar pembaca tau bahwa hidup tidak selalu mulus dan ternyata iman kepada yang gaib itu benar; bukan untuk memujanya, tapi untuk menjaga diri dari kesesatan yang ditimbulkannya. Moga Allah melindungi kita, Amiin.

Rabu, 13 Juli 2011

KEPERGIAN

Dinikmatinya kebersamaan yang tidak lama lagi itu. Bukan vonis, bukan pula ramalan. Firasat itu semakin kuat bahwa kebersamaannya dengan istri tercinta tinggal beberapa hari saja dan sekarang waktu itu semakin sempit.

“Sayang, aku akan terus di sini menemanimu. Berjuanglah terus.”

Dia masih terus menyemangati tubuh kaku di hadapannya itu dengan bisikan harapan dan semangat. Seperti kemarin, tubuh itu tidak lagi merespon. Besar keyakinannya bahwa meski tak merespon, istrinya itu masih dapat mendengar.


Lalu kembali terngiang dalam benaknya, sebulan yang lalu, ucapan dokter yang menangani kesehatan istrinya. Betapa berat tanggungan perasaannya yang harus menerima keputusan dokter yang akhirnya memintanya untuk ikhlas bila sewaktu-waktu maut menjemput tubuh ringkih istrinya. Teriakan nyaring tanda tak rela menggema di ruang konsultasi, merembet jelas ke luar ruangan dan membuat orang-orang yang berada di sekitarnya terkejut sekaligus miris terhanyut pilu.


“Tuhanku Yang Mahaagung dan Bijaksana. Ikhlaskan hatiku menerima setiap keputusan yang telah Kau takdirkan pada kami yang lemah dan hina ini. Berikan kemudahan baginya untuk kembali kepada-Mu. Aku mohon, jangan jadikan kecintaanku adalah penghalang baginya untuk taat pada-Mu. Tuhan, bantulah kami ini.”

Bukan doa biasa. Bukan doa yang meminta kepulihan seperti yang sudah-sudah diucapkannya. Doa kali ini adalah permohonan untuk mengikhlaskan dirinya melepas kepergian orang yang selama ini menjadi bagian dari dirinya. Dialah sahabat terbaik yang dipertemukan Tuhan untuk mengisi hidupnya, curahan hati kala senang dan susah. Dialah istri tercinta.


Bulan semakin pucat seiring semakin terangnya sinar matahari.

“Sayang, lihatlah matahari pagi ini. Cahaya terang sekali. Hangat. Bangunlah.”

Hanya ada ucapan pendek-pendek dari mulutnya. Bibir kelu menahan isak. Ingin didengarkannya lagi suara itu, suara yang membangunkannya di pagi hari dengan bermacam bujukan, kadang celoteh atau omelan ringan karena ulahnya yang menunda-nunda bangun subuh.


“Ayah, tumben bangun pagi sekali hari ini?”

“Aku kangen kamu, Bundaku.” Ditariknya itrinya itu dalam pelukan. Kecupan penuh cinta mendarat bertubi-tubi di kening dan pipi yang membuat si istri tertawa lembut menikmati ulah suaminya itu.

“Ayah, aku bahagia sekali dicintai Ayah di kehidupanku.”

“Aku juga, Sayang.”

“Ayah, tolong jangan menyelaku dulu, please.”

Senyuman dan anggukan serta pelukan yang semakin erat menandakan kesepakantan. Dia diam mendengarkan baik-baik.

“Ayah, kita sadari selalu bahwa Tuhan saja yang memiliki waktu. Tak ada makhluk yang bisa memperlambat, mempercepat apalagi menghentikan waktu. Setiap dari kita punya kesempatan yang sama untuk mempergunakan waktu yang diberikanNya, hanya saja ada yang panjang dan ada yang singkat. Kita sudah bicarakan banyak hal dan menyepakati banyak hal pula. Jadi, aku cuma bisa minta maaf atas kekurangan dan kesalahanku atas ketidaksempurnaanku menjadi istrimu. Insya Allah, kelak di syurgaNya, kita dipertemukanNya kembali.”

Kata-kata pamit yang pahit. Sukmanya terluka. Air mata mengalir membentukan anak sungai hingga membasahi bantal. Dia diam bukan tak punya kata-kata, masih ingin terus dia mendengarkan suara-suara itu hingga tak ada waktu bagi maut untuk merenggut istrinya itu darinya.

“Maaf, Pak. Tolong ikut saya ke ruang perawatan.”

“Astaghfirullah. Ternyata aku duduk tertidur setelah sholat subuh.”

“Mari, Pak. Cepat.”

Perawat itu memaksanya. Tergopoh dia bangkit dari senderan dinding mushola rumah sakit.

Dari depan pintu yang terbuka, dilihatnya dada istrinya turun naik dengan cepat, berebut berusaha menghirup dan melepaskan udara yang keluar-masuk. Matanya terbuka, tapi sayu.

“Sayang, kamu sudah bangun.”

Songsongan kebahagiaan. Rengkuhan penuh syukur. Kecupan dengan air mata menghiasi suasana haru itu.

“Ayah, terima kasih untuk semuanya. Maafkan aku karena harus pergi. Aku mencintaimu, Ayah. Jagalah dirimu baik-baik setelah aku pergi nanti. Sampai ketemu di syurga nanti. Assalamu’alaikum, Cintaku.”

Dan mesin itu menjerit panjang. Matanya sendu itu tertutup perlahan seiring hembusan napasnya yang terakhir. Tak diberiya dia kesempatan untuk membalas ucapan selamat tinggal itu.

Tuhan, dia sudah pergi. Dia kembali kepadaMu. Tempatkanlah dia bersama dengan orang-orang yang Kau cintai. Pertemukanlah kami lagi kelak, Tuhan. Tolong sampaikan rasa sayangku ini kepadanya. Bantu aku untuk ikhlas melepasnya.

Doa lara yang sungguh entah seperti apa obat yang bisa menolongnya pulih dan kapan waktu itu datang untuk bisa dinikmatinya lagi indahnya hidup di dunia. Jiwa yang merana dan hancur. Lara nestapa memayungi dengan untaian doa pengharapan agar Tuhan senantiasa membantunya untuk ikhlas.

Makassar, 28 Juni 2011/ Pukul 5:22 pagi

Selamat Jalan Kekasih

Memang peristiwa 26 Desember tidak hanya aku saja yang kehilangan orang yang tercinta, tapi sungguh peristiwa itu begitu menghantui di setiap malamku. Aku merasa bersalah kepadamu. Aku tak datang tepat waktu sesuai perjanjian kita. Yah… ini sudah takdir. Aku harap kau mau memaafkan aku.

Hari ini, terkenang lagi saat terakhir kau menatapku. Tepat saat kau mengucapkan kata perpisahan yang tak pernah terucapkan lewat kata-kata di bibirmu. Sayang, matamu, begitu aku mengerti arti yang terpancarkan olehnya. Mata itu pasti akan selalu terkenang.

“Ya Allah…. Apa ini?! Gempa!!! Kuat sekali! Kenapa lama?”. Aku benar-benar terkejut. Rasanya ini aneh dan menakutkan. Kata orang tua kalau ada gempa besar pasti ada sesuatu yang lebih besar akan terjadi. Tapi apa? Ah… aku takut membayangkan yang akan terjadi. Moga saja tidak terjadi apa-apa. Lagi pula aku sedang menuju ke rumah Rahmi, kekasihku. Apa dia baik-baik saja ya?

Segera setelah gempa aku meneruskan perjalanan, tapi jarak rumahku dengan rumah Rahmi bisa dikatakan tidak dekat. Aku tinggal di Montasik sementara Rahmi di Kampung Jawa. Jadi, ya udah pasti, paling kurang aku menghabiskan waktu diperjalanan setengah jam, kalo ngebut!

Sampai di Simpang Surabaya aku melihat ada begitu banyak orang berlari dan mereka terlihat begitu panik. Aku bingung dan bertanya pada seorang ibu yang terlihat begitu tertekan.

“Bu, ada apa?”

“Ibu nggak tahu. Tapi, katanya air laut naik. Orang banyak yang hanyut. Anak ibu aja belum ketemu,” jawab Ibu itu panjang lebar.

Masya Allah! Apa yang terjadi sesungguhnya. “ Makasih, Bu”.

Aku terus mencoba melanjutkan perjalanan, tapi ternyata keadaan jauh lebih kacau dari yang aku bayangkan. Orang-orang menangis, histeris, berlarian, ada yang terluka ada yang hanyut. Yang mengerikan, mayat ada di mana-mana, bergelimpangan bagai sampah. Astaghfirullah!

Tiba-tiba terbayang olehku, Rahmi. Bagaimana dengan dia? Ya.. Allah tolong jaga dia, doaku dalam hati. Aku mulai benar-benar panik dan terus berusaha untuk sampai ke tujuan. Tapi sayang, aku terjebak dan terpaksa meninggalkan motorku pada seorang teman yang tinggal di Kampung Ateuk, walau ternyata dia juga sudah meninggalkan rumah yang tak terkunci. Langsung saja kutinggalkan motorku di halaman rumahnya dan bergegas pergi mencari Rahmiku. Aku berjalan kaki. Tapi daerah Mesjid Raya pun begitu kacau. Aku pesimis kalau Kampung Jawa baik-baik saja.

Dengan susah payah aku tetap meneruskan perjalanan dengan sepenuh doa kupanjatkan agar Rahmi selamat dan aku pun berhasil menemukannya. Aku benar-benar berharap. Tanpa sengaja aku melihat seorang perempuan yang hampir telanjang di dekat terminal labi-labi Keudah. Dia tertindih dua mayat. Aku dekati. Yaa Allah!!! Dia, Rahmiku. Aku geser mayat yang menindihnya dan aku tarik dia ke dalam pangkuanku. Aku menangis tergugu. Dia benar-benar dalam keadaan yang tak tertolong lagi. Matanya merah, tangan kanannya patah sedang yang kiri, hilang. Di dadanya yang nyaris telanjang itu, tertancap kayu. Darah terus mengalir. Aku tak tau harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis dan menatapnya penuh duka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir kami. Kami merasa mata kami mampu untuk saling berucap dan mengerti dari setiap maknanya. Hingga akhirnya Rahmi menghembuskan napas terakhir. Moga Syahid.

Rahmi, usai sudah kebersamaan kita. Moga kamu berada di tempat terbaik di sisi-Nya. Aku akan selalu mengenang kebahagian kita yang walau masih seumur jagung. Dan semoga aku kuat untuk terus melanjutkan perjalan hidupku.

IRMA

"Apa?!” aku benar-benar terkejut mendengar keputusan Irma untuk memakai jilbab.
“Apa nggak salah, Ir? Kamu kan jadi terkenal karena rambut kamu?”
“Nggak ada yang salah Put. Kamu baik deh udah ingatin aku tentang itu. Justru itu aku jadi yakin kalo pilihan aku ini benar-benar, BENAR! Thanks ya”

Aku masih bingung sama jawaban yang telah diucapkan Irma, tapi aku memutuskan untuk tidak menanyakan tentang hal itu lagi untuk sementara waktu. Aku yakin itu cuma salah satu caranya untuk mencari sensasi. Yah… seperti biasa.

Irma adalah sobatku yang paling unik. Dia paling banyak ide dan ide-ide itu bisa menjadi sesuatu yang sensasional. Contohnya dua tahun lalu, tiba-tiba dia memotong rambut panjangnya hingga nyaris gundul. Kami sekelas pada bengong alias ternganga waktu tiba-tiba dia nongol di depan kelas sambil teriak “Hai guys! Gimana penampilan aku sekarang?! Unik kan?”. Dasar Irma, tanpa komentar dari siapapun dia tetap menganggap bahwa dari sikap teman-teman yang diam dan terbengong-bengong itu adalah pujian baginya.

Sebenarnya aku kurang senang sama tingkah Irma yang terkadang nggak mikirin orang ngomong apa ke dia. Kupingku sering panas juga dengerin gosip-gosip yang beredar tentang dia. Emang sih dia beken dan dikenal oleh banyak orang di sekolah dan di lingkungannya karena dia pintar dan karena rambutnya yang udah lolos jadi bintang salah satu merk sampo yang terkenal. Tapi aneh juga ya, kenapa dia udah terkenal tapi tetap aja nggak mikirin dan ngerubah sikapnya.

Minggu lalu aku duduk di warung Bakso Bang Dim, tanpa sengaja aku ngederin dua cewek lagi ngegosipin Irma. Kabarnya sih Irma kena penyakit kotor. Soalnya belakangan ini sering banget ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Terus besoknya aku tanyain ke Irma, jawabannya simpel banget, “Aku iseng aja nanya-nanyain orang yang berobat ke sana”. Itulah Irma, teman yang sangat aku sayangi dan dia orang penuh sensasi.

Hari ini seperti biasa, aku menantikan kehadiran Irma di sampingku. Kami sudah berjanji mau ke rumah Dewi, bareng. Memang sudah tiga hari ini kami ikutan kursus memasak sama mamanya Dewi yang kateringnya terkenal itu. Ini sih idenya Irma karena dia ingin bisa buat kue tar dan membuat makanan kecil supaya bisa dijual di kantin sekolah. Usaha kecil, istilahnya. Rasanya aku sudah menunggunya lebih dari sejam, tapi ada papa nih? Nggak biasanya dia terlambat dan nggak memberikan kabar apapun.

Tidak terasa 15 menit juga sudah ikut berlalu dan artinya aku sudah nunggu dia hampir satu setengah jam. Wah, wah, wah, ada apa ya? Aku kok jadi semakin gelisah. Aku takut terjadi Sesuatu yang nggak baik padanya. Ayolah Irma, kamu dimana? Batinku. Emang dasar cuek, dia nongol tanpa bersalah dan langsung nyerahin sebuah kotak ke tanganku. Aku yang masih heran campur bingung, bengong aja menerima kedatangannya dengan kotak itu.

“Napa?”, Irma bertanya.
“Ma, apa kamu nggak tau kalo aku tuh dari tadi dah nungguin kamu?”
“Ya tau lah.”
“Trus?”
“Terus?”, dia malah mengulang pertanyaanku.
“Kamu gimana sih? Kamu kan nggak pernah gini?”
“Gini gimana?”
“Ya telat lah.”
“Siapa bilang? Ni nyatanya aku telat.”

Masih dengan tampang yang super biasa, dia langsung menarikku masuk ke rumah Dewi.

“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam”, jawab mamanya Dewi. “Loh, kok kamu baru datang Ir? Kasian Putri tuh udah nunggu kamu dari tadi.”
“Salahnya dia, Tante. Kenapa juga dia khawatir tapi nggak nanyak.”
Apa??? Keterlaluan anak ini. Aku yang udah nggak tahan jadi benar-benar ingin menjitak kepalanya.
“Sembarangan kamu,” selaku, “emangnya pernah apa kamu bertingkah kek gini? Aku takut juga nelpon rumahmu, entar mamamu jadi khawatir karena ternyata anaknya nggak nyampe tujuan. Padahal si ratu nyentrik ini lagi keluyuran.”
“Enak aja. Aku sengaja datang terlambat. Akukan lagi nyobain resep kemarin. Sebagai kejutan aku datang ngaret so kita hari ini nggak perlu praktek masak tapi cobain kue buatanku aja.”